Masalah bencana ada yang memandangnya sebagai fenomena alam yang terjadi secara kebetulan. Sedangkan di sisi lain, suatu bencana dipandang sebagai peristiwa kerusakan alam yang mempunyai hubungan yang kental dengan wilayah keimanan, bukan fenomena alam yang serba kebetulan.
Dalam konteks iman (keyakinan), tidak ada suatu bencana atau kerusakan alam yang terjadi kecuali ada hubungannya dengan perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana peringatan-peringatan Allah yang telah disebutkan dalam sejumlah ayat Alquran.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. ar-Rum [30]:41).
Ayat di atas menunjukan, bencana alam itu terjadi bukanlah secara kebetulan, tetapi dikarenakan perbuatan maksiat manusia. Abu ‘Aliyah berkata, “Barang siapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi, maka sungguh ia telah membuat kerusakan di dalamnya, sebab kebaikan bumi dan langit tergantung kepada ketataan manusia terhadap Sang Penciptanya”.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda, “Suatu hukum (hudud) yang ditegakkan di atas bumi itu lebih disukai oleh penduduknya daripada hujan yang diturunkan kepada mereka selama empat puluh pagi.” (HR. Abu Dawud). Maksud hadis di atas adalah bahwa apabila hukum hudud itu direalisasikan, maka kebanyakan manusia akan berhenti dari kebiasaaan yang diharamkan. Dan apabila mereka berhasil meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, ia akan menjadi penyebab datangnya keberkahan (nikmat yang bertambah) dari penjuru langit dan bumi.
Namun, selama hukum langit itu belum diberlakukan, berbagai bentuk kemaksiatan akan terus merajalela, terutama kemaksiatan yang dilakukan oleh para penguasa, seperti praktek korupsi, manipulasi kekayaan Negara, ketidakadilan, terlibat kasus amoral, mengebiri supermasi hukum dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan masalah bencana ini, seorang tokoh dan ulama Nusantara, Buya Hamka telah mengatakan, bahwa menurut pandangan yang berdasarkan keimanan, bencana-bencana tersebut harus ditanggulangi dari dua dimensi.
Pertama, dimensi fisikal (lahiriah). Upaya pencegahan bencana dengan cara memperbaiki lokasi-lokasi yang rusak, memelihara hutan jangan sampai terbakar atau digundulkan, menata tata ruang perkotaan dengan cara memperkokoh dan membendung tepi pantai supaya tidak di runtuhkan gelombang ombak yang dapat mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Termasuk ke dalam dimensi ini adalah kesadaran kolektif dan masif dari setiap individu masyarakat terhadap pentingnya hidup teratur dan disiplin, seperti menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan.
Kedua, dimensi yang lebih penting dan mendasar, yaitu mendekati Allah SWT. Manusia tidak dibenarkan untuk mempersenda-guraukan tentang soal-soal agama dan ketuhanan, sebab kunci rahasia alam ini dipegang oleh kekuasaan- Nya.
Wallahu’alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar