Ekologi
kota adalah interaksi organisme dengan lingkungan fisiknya di wilayah
perkotaan. Kajian ekologi kota meliputi organisme yang hidup di kota serta daur
rantai makanannya, pengeluaran fases dari organisme, daur hidup organisme yang
terjadi di dalam sistem
perencanaan dan jaringan tubuhnya. Kajian ini penting mengingat beberapa
organisme menjadi sumber utama penyakit yang menyerang manusia seperti demam
berdarah, kaki gajah, malaria, rabies, flu tulang. Lingkungan perkotaan
mengalami perkembangan pembangunan yang sangat cepat dan mudah berubah-ubah.
Urbanisasi, permukiman dan gedung-gedung yang vertikal, ketersediaan makanan,
migrasi organisme, sampah, energi dan air bersih menjadi masalah yang pelik di kota-kota besar.
Kota ekologis adalah satu
pendekatan pembangunan kota yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekologis.
Pendekatan ini dipilih sebagai jawaban atas semakin memburuknya kondisi
lingkungan kota karena pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada
kepentingan ekonomi jangka pendek. Kota Ekologis mempunyai kesamaan dengan
konsepsi kota yang berkelanjutan, yang menekankan pentingnya menyeimbangkan
Antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan kota. Kota
Ekologis juga mempunyai pandangan jauh ke depan, bahwa Pembangunan kota harus
mempertimbangkan keberlanjutan atau masa depan kota.
Kota Ekologis di beberapa kota
diwujudkan dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk mencapai ‘kota
hijau‛. Program kota hijau merupakan program yang menyatakan perlunya kualitas
hidup yang lebih baik serta kehidupan yang harmonis dengan lingkungannya bagi
masyarakat kota. Program-program kota hijau diantaranya tidak hanya terbatas
untuk mengupayakan penghijauan saja akan tetapi lebih luas untuk mengupayakan
konversi energi yang dapat diperbaharui,
membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas proses daur ulang,
memberdayakan masyarakat, mendukung usaha
kecil dan kerjasama sebagai
tanggung jawab sosial, memugar tempat tinggal liar, memperluas partisipasi dalam perencanaan untuk keberlanjutan,
menciptakan seni dan perayaan yang bersifat komunal.
Pada perancangan kota ekologi,
ada tiga prinsip utama yang harus dipenuhi yaitu:
1. Kesesuaian dengan iklim
2. Efisiensi sumber daya
3. Efisiensi energi
Ketiga prinsip tersebut
mendasari semua komponen perancangan kota ekologi, yang saling berintegrasi.
Keterpaduan antara komponen dalam perancangan kota ekologi merupakan salah satu
jalan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Adapun komponen perancangan
kota ekologi terdiri dari:
1.
Tata
guna tanah
2.
Bangunan
3.
Transportasi
4.
Infrastruktur
5.
Lansekap
kota
Pada tata guna tanah, beberapa
upaya yang dapat dilakukan dalam perancangan kota ekologi adalah:
1.
Tata
guna tanah campuran
2.
Pemakaian
lahan dengan lebih kompak
3.
Integrasi
antara tata guna tanah dan intrastruktur
4.
Pemakaian
lahan untuk kegiatan skala kecil
5.
Lebih
banyak disediakan ruang terbuka
Prinsip-Prinsip
Kota Ekologis lainnya adalah :
Fungsi kota
ekologi menurut prinsip-prinsip tertentu, dan dapat mempengaruhi kota dalam petunjuk
yang positif. Prinsip-prinsip tersebut meliputi :
1.
Skala
kecil dan sangat memenuhi syarat
2.
Akses
menurut kedekatan
3.
Pemusatan
kembali dengan skala kecil
4.
Perbedaan
adalah sesuatu yang baik
B.
Dampak Ekologis di Kota Makassar
Tanah adalah aset yang tidak merata distribusinya.
Pertumbuhan yang bertumpu pada eksploitasi lingkungan alam bertentangan dengan
prinsip pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development), yang
melestarikan ekologi dimana pendapatan masa depan dan kesehatan manusia
bergantung. Reklamasi pantai di Makassar merupakan konflik antara tujuan
pembangunan jangka pendek dengan tujuan jangka panjang serta konsekuensi dari
besarnya ketimpangan dan intervensi pemerintah atas nama orang-orang kaya.
Terlepas dari sifat negatifnya, aktifitas ekonomi di wilayah CPI (Centre Point of Indonesia) yang sering
kali mendapat keuntungan dari subsidi yang berlangsung. Proyek dan skema
pembangunan di buat dalam skala besar. Dalam banyak kasus dimana terdapat
distribusi tanah yang sangat timpang, pembangunan yang berkelanjutan
membutuhkan perhatian serius terhadap Land
reform.
Selama
2009 tiga proses alih fungsi
ekologis yang menuai sorotan, yakni revitalisasi Lapangan Karebosi yang
berkesinambungan tahun sebelunya , Proyek Center Point of Indonesia (CPI), dan
Reklamasi Buloa, semua di Kota Makassar. Revitalisasi Karebosi bukan hanya
mengalihfungsi areal resapan menjadi area komersil, tetapi juga kemudian
menimbulkan masalah sosial, karena fungsi sosial Karebosi sebagai area publik
perlahan-lahan dihilangkan mengikuti kemauan investor. Revitalisasi Karebosi
menjadi salah satu contoh pembangunan mencoba menyampingkan aspek-aspek
ekologi, bahkan aspek ekologis dikapitalisasi ke dalam ekspansi investasi yang
mengubah fungsi publik menjadi fungsi privat. Pembangunan CPI menuai sorotan
karena megaproyek ini akan secara ekstrim mengubah fungsi-fungsi ekologis di
sepanjang pantai Makassar.
Proyek ini akan menutup areal muara Sungai Jeneberang, lalu
kemana nantinya 30 juta kubik sedimen lumpur dari Jeneberang? Bagaimana dengan
pola gelombang datang dari selat Makassar, bagaimana menjaga kedalaman
Pelabuhan Makassar. Karena CPI harus memiliki Amdal yang konprhensif. Disamping
itu, harus punya studi kelakayan yang akurat. Reklamasi Buloa, pergerakannya
seperti ‘aksi siluman’. Tidak ada informasi, diam-diam tiba-tiba ada dan
sebagian areal laut sudah tertimbun. Kemudian menimbulkan reaksi masyarakat
karena reklamasi ini secara ekologis merusak lingkungan berupa mangrove terumbu
karang di kota Makassar yang tersisa, juga sebagai ‘paru-paru’ penyerap karbon
lepasan kawasan industri.
Ekosistem pantai terancam, sekaligus dampak sosial terhadap
masyarakat nelayan atau masyarakat di sekitar lokasi proyek. Kebiasaan buruk dalam pembangunan kita
adalah mengakali Amdal. Idealnya, proyek pembangunan berdasarkan analisis
dampak lingkungan, tetapi yang sering terjadi Amdal menyesuaikan pembangunan.
Akhirnya Amdal dikondisikan sesuai kehendak pembangunan atau investor.
Berdasar dari
beberapa masalah yang terjadi di Kota Makassar yang menjadi penyebab utamanya
adalah banyaknya pembangunan yang tidak memenuhi Amdal padahal hal utama yang
seharusnya di perhatikan adalah Amdalnya. Dengan adanya Amdal disetiap
pembangunan maka dapat mengurangi dampak buruk pada Ekologi.
Maka
dari itu untuk mewujudkan pembangunan yang berlandaskan ekologi maka pemerintah
terkait harus lebih tegas dalam mengawasi baik dalam pemberian izin untuk
mendirikan bangunan (IMB) maupun dalam proses pembangunannya, karna ada banyak
pembangunan tidak sesuai yang di lapangan dengan yang direncanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar